Saya tidak perlu heran tentang ‘meledaknya’
isu seputar ijazah palsu pada Mei 2015. Ijazah keluaran kampus ‘luar negeri’.
Juga ijazah ‘dalam negeri’. Tidak pernah kuliah tapi bisa mendapat ijazah.
Semasa kuliah, isu membeli nilai, ijazah, dan lain-lain bukanlah isapan jempol
jenglot belaka. Bukan juga urusan saya.
Ijazah saya, dari SD sampai perguruan
tinggi, terjamin keasliannya. Dan, saya pun ‘menjadi’ seperti yang tertulis
pada ijazah terakhir saya. Semua, terutamanya, karena doa dan dana orangtua
saya. Sewaktu saya SD orangtua ‘menuntut’ saya menjadi insinyur tetapi (seperti
upaya menentang; durhaka) saya mau jadi ‘tukang gambar’ (ilustrator, pelukis,
dan sejenisnya), akhirnya malah doa orangtua dan saya terkabul dalam satu kata
: arsitek (dulu gelar arsitek adalah insinyur, semisal Ir. Soekarno).
Selesaikah dengan upaya perolehan ijazah
dari ‘tuntutan’, doa, dana, usaha, dan lain-lain itu? Ternyata tidak sampai di
situ. Saya benar-benar ‘menjadi’. Saya bisa menggunakan teknik tradisional-manual
(freehand), dan teknik berteknologi
masa kini (komputer), juga merancang sesuai dengan standar-standar bidang studi
saya sebagai bagian dari perwujudan dari kata “menjadi”.
Saya serius “menjadi”. Bukan suatu lelucon
atau menertawai doa-dana orangtua saya. Saya selalu terbayang, bagaimana
doa-doa siang-malam bertahun-tahun dan dana-anggaran yang tidak sedikit (sejak
saya SD) dari orangtua saya. Bukan doa-doa palsu. Bukan dana-anggaran palsu,
apalagi memakai uang palsu. Sungguh durhaka, jika saya malah menganggap segala
jerih-payah orangtua dulu merupakan sebuah kepalsuan belaka dengan cara
“menjadi tidak sesuai dengan ijazah” saya.
Dengan penuh penghargaan terhadap orangtua,
saya terus tekun mengikuti perkembangan bidang studi saya, bahkan sedang
berupaya mendapat sertifikat keahlian tingkat madya. Saya terus melakukan
kegiatan perancangan, meski tidak melulu demi suatu proyek bernilai sekian
rupiah. Saya pun senang sekali pada profesi saya, yang merupakan kesatuan
harapan orangtua dan kegemaran saya dalam bidang menggambar.
Ijazah dan “menjadi”. Begitulah fakta saya.
Tidak pernah saya mencoba untuk mengkhianati doa-dana orangtua saya yang
terwujud secara legal bernama “ijazah” dengan cara “menjadi bukan arsitek”. Saya tidak pernah berkhayal “menjadi
pendurhaka” melalui “tidak menjadi” sesuai dengan ijazah saya. Lucunya,
sebagian kawan menduga saya berprofesi sebagai wartawan atau redaktur di sebuah
media massa, selain media massa khusus arsitektur.
Menjadi. Seperti “menjadi pesepakbola”,
bukan karena hanya berkoar-koar di bangku penonton tetapi tidak berlatih dan
bertanding di lapangan. Seperti “menjadi Sapardi”, “menjadi Gol A Gong”, “menjadi Joko Pinurbo”, atau “menjadi Hasta
Indriyana”, bukan hanya meributkan ide, teknik penulisan, pengolahan kata, buku-buku
bermutu karya orang lain tanpa pernah tekun menulis dan produktif.
Apakah seorang Syamsul Anwar Harahap,
Eliyas Pical, atau Pino Bahari masih “menjadi petinju”? Apakah Rudi Hartono
masih “menjadi pebulutangkis”? Apakah yang harus tetap tekun dilakukan supaya
tetap “menjadi”?
Saya tidak pernah ingin “menjadi orang
lain”. Ijazah saya jelas sekali: Sarjana Teknik Program Studi Arsitektur.
Kegiatan rancang-bangun saya pun jelas sekali. Secontohnya adalah rukan (rumah
bukan, kantor juga bukan) milik keluarga saya. Suatu bentuk ungkapan syukur
saya kepada Tuhan dan orangtua adalah “menjadi” sesuai dengan doa-doa dan
dana-dana.
Ijazah saya jelas asli. Ijazah asli, masak
sih bisa “menjadi palsu”? Doa-doa yang “asli”, masak sih pengabulannya justru
“palsu”? Nah, kalau “ijazah palsu”, lumrahlah “menjadi palsu”. Tapi kalau
“ijazah palsu”, mengapa menuntut “menjadi asli”? Lha wong yang memiliki “ijazah asli” saja, setelah diwisuda malah
“menjadi palsu”. Sudah “menjadi palsu”, dengan hebatnya menuding, “Si Anu
berijazah palsu!” Tapi terserahlah. Bukan urusan saya.
Bagaimana kalau saya “menjadi penulis”?
Saya tidak memiliki ijazah itu. Kalau piagam penghargaan juara “menulis....”,
saya punya. Apakah piagam penghargaan
sama juga dengan ijazah? Yang jelas, piagam penghargaan tidak sama dengan
ijazah palsu, ‘kan?
Bagaimana kalau “menjadi sastrawan”? Oh,
kepalsuan macam apa lagi ini?! Kalau dulu saya berkuliah di Fakultas Sastra,
saya pasti “menjadi sastrawan”! Kalau ijazah saya “Sarjana Sastra” tapi
“menjadi bukan sastrawan”, betapa sia-sia harapan orangtua saya siang-malam
bertahun-tahun, bahkan saya bisa termasuk dalam bilangan “pendurhaka”, dan
sangatlah merugi karena mengkhianati doa-doa orangtua saya.
Maka, ketika saya ‘diminta’ untuk mengajari
orang-orang Balikpapan dalam kegiatan sastra, sebenarnya, hal tersebut
merupakan bentuk pengingkaran terhadap diri sendiri dan ‘pemakaran’ terhadap
para Sarjana Sastra di Balikpapan. Lagi-lagi, ijazah saya jelas “bukan Sarjana
Sastra” melainkan “Sarjana Teknik”. Para Sarjana Sastra, jelas, berijazah
“Sarjana Sastra”.
Saya memutuskan untuk berhenti dalam
kegiatan pembelajaran sastra non-formal di Balikpapan lebih disebabkan oleh
faktor penghargaan saya yang setinggi-tingginya kepada ijazah “Sarjana Sastra”
dan doa-doa dari para orangtua yang memiliki anak-anak berijazah “Sarjana
Sastra”. Tentu saja tidaklah elok jika seorang Sarjana Teknik menyerobot
‘lahan’ (nafkah) seorang Sarjana Sastra, atau sebaliknya.
Jadi, saya akan setia pada bidang saya
sendiri. Saya akan setia pada apa yang pernah didoakan dan didanakan oleh
orangtua saya. Saya tidak perlu terjerumus pada “godaan” asing untuk “menjadi
bukan saya” sebagai bukti bahwa ijazah terakhir saya sungguh-sungguh asli. Doa-dana
orangtua saya juga asli. Tuhan yang mengabulkan semua itu juga Asli. Apalagi
kini, saya pun sudah mendapat surat asli dari Catatan Sipil Kota Balikpapan
mengenai status pernikahan saya. Sekian.
*******
Panggung Renung, 2015