Rabu, 24 Mei 2017

Ijazah dan Menjadi

Saya tidak perlu heran tentang ‘meledaknya’ isu seputar ijazah palsu pada Mei 2015. Ijazah keluaran kampus ‘luar negeri’. Juga ijazah ‘dalam negeri’. Tidak pernah kuliah tapi bisa mendapat ijazah. Semasa kuliah, isu membeli nilai, ijazah, dan lain-lain bukanlah isapan jempol jenglot belaka. Bukan juga urusan saya.

Ijazah saya, dari SD sampai perguruan tinggi, terjamin keasliannya. Dan, saya pun ‘menjadi’ seperti yang tertulis pada ijazah terakhir saya. Semua, terutamanya, karena doa dan dana orangtua saya. Sewaktu saya SD orangtua ‘menuntut’ saya menjadi insinyur tetapi (seperti upaya menentang; durhaka) saya mau jadi ‘tukang gambar’ (ilustrator, pelukis, dan sejenisnya), akhirnya malah doa orangtua dan saya terkabul dalam satu kata : arsitek (dulu gelar arsitek adalah insinyur, semisal Ir. Soekarno).

Selesaikah dengan upaya perolehan ijazah dari ‘tuntutan’, doa, dana, usaha, dan lain-lain itu? Ternyata tidak sampai di situ. Saya benar-benar ‘menjadi’. Saya bisa menggunakan teknik tradisional-manual (freehand), dan teknik berteknologi masa kini (komputer), juga merancang sesuai dengan standar-standar bidang studi saya sebagai bagian dari perwujudan dari kata “menjadi”.

Saya serius “menjadi”. Bukan suatu lelucon atau menertawai doa-dana orangtua saya. Saya selalu terbayang, bagaimana doa-doa siang-malam bertahun-tahun dan dana-anggaran yang tidak sedikit (sejak saya SD) dari orangtua saya. Bukan doa-doa palsu. Bukan dana-anggaran palsu, apalagi memakai uang palsu. Sungguh durhaka, jika saya malah menganggap segala jerih-payah orangtua dulu merupakan sebuah kepalsuan belaka dengan cara “menjadi tidak sesuai dengan ijazah” saya.

Dengan penuh penghargaan terhadap orangtua, saya terus tekun mengikuti perkembangan bidang studi saya, bahkan sedang berupaya mendapat sertifikat keahlian tingkat madya. Saya terus melakukan kegiatan perancangan, meski tidak melulu demi suatu proyek bernilai sekian rupiah. Saya pun senang sekali pada profesi saya, yang merupakan kesatuan harapan orangtua dan kegemaran saya dalam bidang menggambar.

Ijazah dan “menjadi”. Begitulah fakta saya. Tidak pernah saya mencoba untuk mengkhianati doa-dana orangtua saya yang terwujud secara legal bernama “ijazah” dengan cara “menjadi bukan arsitek”.  Saya tidak pernah berkhayal “menjadi pendurhaka” melalui “tidak menjadi” sesuai dengan ijazah saya. Lucunya, sebagian kawan menduga saya berprofesi sebagai wartawan atau redaktur di sebuah media massa, selain media massa khusus arsitektur.

Menjadi. Seperti “menjadi pesepakbola”, bukan karena hanya berkoar-koar di bangku penonton tetapi tidak berlatih dan bertanding di lapangan. Seperti “menjadi Sapardi”, “menjadi Gol A Gong”,  “menjadi Joko Pinurbo”, atau “menjadi Hasta Indriyana”, bukan hanya meributkan ide, teknik penulisan, pengolahan kata, buku-buku bermutu karya orang lain tanpa pernah tekun menulis dan produktif.

Apakah seorang Syamsul Anwar Harahap, Eliyas Pical, atau Pino Bahari masih “menjadi petinju”? Apakah Rudi Hartono masih “menjadi pebulutangkis”? Apakah yang harus tetap tekun dilakukan supaya tetap “menjadi”?

Saya tidak pernah ingin “menjadi orang lain”. Ijazah saya jelas sekali: Sarjana Teknik Program Studi Arsitektur. Kegiatan rancang-bangun saya pun jelas sekali. Secontohnya adalah rukan (rumah bukan, kantor juga bukan) milik keluarga saya. Suatu bentuk ungkapan syukur saya kepada Tuhan dan orangtua adalah “menjadi” sesuai dengan doa-doa dan dana-dana.

Ijazah saya jelas asli. Ijazah asli, masak sih bisa “menjadi palsu”? Doa-doa yang “asli”, masak sih pengabulannya justru “palsu”? Nah, kalau “ijazah palsu”, lumrahlah “menjadi palsu”. Tapi kalau “ijazah palsu”, mengapa menuntut “menjadi asli”? Lha wong yang memiliki “ijazah asli” saja, setelah diwisuda malah “menjadi palsu”. Sudah “menjadi palsu”, dengan hebatnya menuding, “Si Anu berijazah palsu!” Tapi terserahlah. Bukan urusan saya.

Bagaimana kalau saya “menjadi penulis”? Saya tidak memiliki ijazah itu. Kalau piagam penghargaan juara “menulis....”, saya punya.  Apakah piagam penghargaan sama juga dengan ijazah? Yang jelas, piagam penghargaan tidak sama dengan ijazah palsu, ‘kan?

Bagaimana kalau “menjadi sastrawan”? Oh, kepalsuan macam apa lagi ini?! Kalau dulu saya berkuliah di Fakultas Sastra, saya pasti “menjadi sastrawan”! Kalau ijazah saya “Sarjana Sastra” tapi “menjadi bukan sastrawan”, betapa sia-sia harapan orangtua saya siang-malam bertahun-tahun, bahkan saya bisa termasuk dalam bilangan “pendurhaka”, dan sangatlah merugi karena mengkhianati doa-doa orangtua saya. 

Maka, ketika saya ‘diminta’ untuk mengajari orang-orang Balikpapan dalam kegiatan sastra, sebenarnya, hal tersebut merupakan bentuk pengingkaran terhadap diri sendiri dan ‘pemakaran’ terhadap para Sarjana Sastra di Balikpapan. Lagi-lagi, ijazah saya jelas “bukan Sarjana Sastra” melainkan “Sarjana Teknik”. Para Sarjana Sastra, jelas, berijazah “Sarjana Sastra”.

Saya memutuskan untuk berhenti dalam kegiatan pembelajaran sastra non-formal di Balikpapan lebih disebabkan oleh faktor penghargaan saya yang setinggi-tingginya kepada ijazah “Sarjana Sastra” dan doa-doa dari para orangtua yang memiliki anak-anak berijazah “Sarjana Sastra”. Tentu saja tidaklah elok jika seorang Sarjana Teknik menyerobot ‘lahan’ (nafkah) seorang Sarjana Sastra, atau sebaliknya.

Jadi, saya akan setia pada bidang saya sendiri. Saya akan setia pada apa yang pernah didoakan dan didanakan oleh orangtua saya. Saya tidak perlu terjerumus pada “godaan” asing untuk “menjadi bukan saya” sebagai bukti bahwa ijazah terakhir saya sungguh-sungguh asli. Doa-dana orangtua saya juga asli. Tuhan yang mengabulkan semua itu juga Asli. Apalagi kini, saya pun sudah mendapat surat asli dari Catatan Sipil Kota Balikpapan mengenai status pernikahan saya. Sekian.

*******

Panggung Renung, 2015