Sabtu, 24 Juni 2017

Satu yang Monumental dari Sebuah Tulisan Arsitektur

(Foto keluarga kami ketika berwisata ke Bangka Barat, Mei 2017)

Bagi saya, menjadi arsitek yang bisa menulis merupakan sebuah anugerah. Menjadi arsitek saja sudah merupakan sebuah anugerah, apalagi ditambah bisa menulis.

Baik menggambar bangunan sebagai arsitek maupun menulis, keduanya memerlukan konsistensi. Saya masih belajar mengenai perkembangan arsitektur melalui kegiatan di Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Cabang Balikpapan. Saya masih tekun membuat rancangan arsitektur, meski sederhana. Dan soal tulis-menulis, bisa bersanding dengan kegiatan saya berarsitektur.

Paduan antara arsitektur dan tulisan saya lakukan pada pengamatan bangunan. Sebuah tulisan “Robohnya Sejarah Kami” (RSK) merupakan satu contohnya. Tulisan tersebut dimuat di rubrik Opini Harian Bangka Pos pada edisi Selasa, 25 Juli 2005, dan terabadikan dalam buku Siapa Mengontrol Siapa (2016).

Melalui RSK saya mengkritisi tanggapan seorang anggota DPRD Kabupaten Bangka Barat terhadap gedung Kawilasi Timah di Muntok pada sebuah harian daerah, Sabtu 16 Juli 2005. “Bangunan gedung tua tak terawat dan seperti tidak bertuan itu, sangat mengganggu keindahan kota. Dari pihak Timah kalau mau ngasih ke pemda ya hibahkan saja, kalau tidak alangkah baiknya dirobohkan saja daripada mengganggu pemandangan. Masak di tengah kawasan perkotaan ada gedung sarang hantu,” ucap beliau.

Gedung Kawilasi Timah sebelumnya adalah Kantor Pusat Pemerintahan (Residen) Bangka, yang bernama Hoofdbureau Banka Tinwinning Bedriff. Gedung berlantai dua ini dibangun oleh Kolonial Belanda pada 1915 -- saya keliru melihat angka tahun karena faktor kotor (berlumut kerak) pada angka yang kemudian saya tulis 1816.

Bangunan monumental, begitulah istilah dalam mata kuliah pilihan saya. Sebuah bangunan disebut monumental, selain memiliki ukuran besar dan bentuk tertentu, juga latar sejarahnya, gaya, dan usianya.

Meskipun kekurangan informasi (referensi) mengenai gedung Kawilasi Timah, semisal siapa arsiteknya, saya tetap menuliskannya dalam rangka kepedulian terhadap bangunan bersejarah bahkan monumental. Terlebih Muntok, ketika itu (2005), dicanangkan sebagai Kota Wisata Sejarah. Apakah yang juga bisa meyakinkan predikat atau gelar tersebut, jika salah satunya bukan berupa bangunan bersejarah, 'kan?

Sudah lama, ya, 2005 alias 12 tahun silam? Lantas apa dampak dari RSK?

Dampak pertama, RSK menjadi bahan pertimbangan Kepala Bappeda Provinsi Babel. Hal ini diberitahukan oleh kakak saya, Antonius Wahyudi, ketika masih berdinas di Bappeda Babel. Sayangnya saya lupa nama kepala dinas Bappeda Babel pada waktu itu.

Dampak kedua, pada 21 Mei 2017 saya melihat foto-foto wisata keluarga kami di Bangka Barat. Satu obyek wisata yang sangat mengagetkan saya adalah Museum Timah Indonesia Muntok. Saya tidak asing pada tampilan depan bangunan tersebut. Bangunan tersebut saya tulis dengan judul RSK, dan telah diperbaiki menjadi museum!

Kemudian saya pajang pada beranda Fb saya pada 22 Mei 2017, dari foto sekarang (2017) maupun foto 2004 ketika saya berada di sana. Tidak lupa saya sematkan pada akun Ketua IAI Pusat Ahmad Djuhara. Komentar beliau, “Terima kasih sudah menjaga arsitektur Indonesia.”

Anugerah lagi, ‘kan?

Konsistenitas dalam kepekaan (kritis) terhadap sekitar, dan tekun mengolah diri bukanlah sekadar angan-angan jika kemudian mendapat anugerah alias penghargaan, meskipun tidak berbentuk uang dari pemerintah atau instansi terkait. Tidak perlulah terlalu berharap atau berambisi apa-apa, anugerah akan datang pada waktunya, meskipun tidak serta-merta pada saat itu.    

*******
Pangung Renung Balikpapan, 22 Mei 2017



(foto dokumen pribadi, 2004)
  
Robohnya Sejarah Kami *

Saya amat sangat prihatin ketika membaca sepenggal ucapan seorang anggota DPRD Kabupaten Bangka Barat mengenai gedung Kawilasi Timah di Muntok pada sebuah harian daerah, Sabtu 16 Juli 2005. “Bangunan gedung tua tak terawat dan seperti tidak bertuan itu, sangat mengganggu keindahan kota. Dari pihak Timah kalau mau ngasih ke pemda ya hibahkan saja, kalau tidak alangkah baiknya dirobohkan saja daripada mengganggu pemandangan. Masak di tengah kawasan perkotaan ada gedung sarang hantu,” ucap beliau.

Sungguh saya amat sangat prihatin. Tapi setelah saya melihat gelar kesarjanaan beliau, saya mahfum. Tetapi pula saya khawatir bahwa pernyataan beliau, sebagai wakil rakyat, menjadi semacam slogan dangkal yang mungkin dapat mempengaruhi sebagian orang untuk menindaklanjuti dengan “dirobohkan saja”. Dampaknya, bisa “merobohkan” bangunan-bangunan kuno yang lain, yang belum benar-benar dicermati kadar kesejarahan dan kebudayaannya. Ah, semoga tidak segampang itu pengaruhnya.

Sesuatu yang tidak terawat memang sangat mengganggu keindahan. Namun, untuk kasus gedung bekas Kawilasi Timah, apakah harus semudah itu mengatakan “sangat mengganggu keindahan kota”, “mengganggu pemadangan”, dan “alangkah baiknya dirobohkan saja” di media massa yang jelas-jelas akan dibaca oleh tidak sedikit masyarakat?

Saya memang bukan budayawan dan sejarawan. Saya hanya tahu seupil tentang sejarah Bangka Belitung, Muntok, dan Timah. Seupil. Tapi, meski seupil, saya berusaha menghargai sejarah sesuai dengan takaran seupil saya. Dalam hal ini adalah bangunan tua. Dan saya, sebagai masyarakat biasa serta bukan siapa-siapa, bermaksud memberi secuil-dua cuil pendapat sesuai dengan status saya sebagai masyarakat biasa.

Gedung Kawilasi Timah, atau awalnya bernama Hoofdbureau Banka Tinwinning Bedriff dan sekaligus pusat pemerintahan (Residen) Bangka dibangun tahun 1816. Bukan gedung hiburan malam atau perjudian. Bangunan bergaya kolonial tersebut, seperti yang ditulis pada kalimat awal oleh koran lokal tadi, merupakan bangunan bertingkat pertama kali di Muntok. Waow!

Kota Muntok berjaya bukanlah karena ketika itu sudah ada kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah beserta kompleks rumah dinasnya. Kota Muntok berjaya bukan karena banyak dibangun hotel-hotel walet sekian tingkat ketika itu. Muntok pun dikenal dunia bukan karena penjara kotanya. Gedung itulah yang menjadi salah satu saksi bisu sejarah Kota Muntok lantaran pertama kali menjadi kantor pusat pemerintahan Bangka, bukan hanya Bangka Barat dan sekitarnya. Belum lagi identitas Muntok sebagai Kota Wisata Sejarah.

Dan timah. Ya, timah. Bahkan timah pernah menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar di negara kita. Bukan sahang (lada putih). Bukan kelapa sawit. Apalagi ikan sembilang.

Bangunan bekas Kawilasi Timah, yang sangat berkaitan dengan urusan timah itu merupakan bangunan monumental; bangunan yang mempunyai nilai sejarah (termasuk fungsi bangunan saat itu) dan budaya. Serta, tidak mustahil bahwa bangunan kuno tersebut merupakan bagian dari landmark Kota Muntok, di samping Wisma Ranggam, Pesanggrahan Menumbing, Rumah Mayor, Kantor dan Penjara Syahbandar, Klenteng, Masjid Jami’, pabrik peleburan Timah, dan lain-lain. Obyek wisata pun tidak cuma pantai yang elok atau taman atau kebun yang montok.

Di beberapa kota besar di Indonesia modernisasi bukan berarti robohisasi bangunan-bangunan bersejarah. Bangunan-bangunan bergaya arsitektur kolonial yang memiliki nilai sejarah yang tinggi dirawat, dilestarikan, dan diabadikan dalam buku, misalnya buku Arsitektur Kolonial Belanda di IndonesiaArsitektur Kolonial di SurabayaPerkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang, dan lain-lain.

Kajian-kajian sejarah dan budaya terhadap bangunan-bangunan tua sungguh-sungguh dilakukan, apakah pantas menjadi bangunan cagar budaya ataukah tidak alias “silakan dirobohkan saja”. Yang sempat terpikirkan, maaf, apakah Muntok adalah kota paling besar, paling maju, paling modern di Indonesia saat ini sehingga bangunan monumental bekas Kawilasi Timah itu wajar “dirobohkan saja”?

Saya coba bandingkan dengan New York (Maaf, apakah Muntok lebih modern dan indah dibanding New York?), Amerika Serikat. Saya percaya bahwa sebagian pembaca bisa membayangkan seberapa megah New York, kendati belum pernah ke sana, termasuk saya.

Dalam buku New York, A Guide To The Metropolis, Walking Tours of Architecture and History(Gerard E. Wolfe, Second Edition, New York: McCraw-Hill, Inc, 1988) saya salut pada kepedulian “pemda” New York dalam melestarikan bangunan bersejarah di saat bangunan-bangunan modern-high tech saling berlomba-lomba meraih pelangi dan bintang di sana dengan payung hukum Landmark Preservation Law tahun 1965.

Orang-orang New York, yang jelas-jelas pikirannya jauh lebih modern daripada saya ini, begitu sadar akan sejarah dan karakteristik (Genius Loci) kota beserta komponen fisiknya. Bukan saja persoalan “mengenang sejarah dan masa jaya” karena setiap bangunan monumental memiliki kontribusi sejarah dan budaya masing-masing. Melainkan pula bangunan-bangunan monumental, misalnya Kapel St.Paul (1766), The Germania Building (1865), The Educational Alliance (1891), The Bank of Tokyo (1895), Woolworth Building (1913), The Former America Telephone & Telegraph Building (1917), dan sebagainya itu merupakan khasanah pesona sekaligus obyek wisata budaya yang diunggulkan.

Atau negara tetangga kita, Singapura. Menurut catatan Prof. Ir. Eko Budihardjo, M.Sc., dalam Konservasi Arsitektur sebagai Warisan Budaya (1997), Singapura pernah berbuat keliru dengan membongkar bangunan-bangunan kuno untuk memberikan tempat bagi bangunan baru yang serba modern dengan teknologi canggih. Akibat yang kemudian diderita adalah menurunnya turis mancanegara, karena mereka tidak lagi bisa menikmati keunikan yang khas dari Kota Singa. Menyadari hal tersebut digalakkanlah kegiatan pelestarian atau konservasi; baik arsitekturnya (seperti hotel Raffles) maupun lingkungannnya (seperti China Town, Little India dan Kampung Melayu). Biarpun kesadaran tersebut datang terlambat namun hasilnya toh cukup mengesankan. Wisatawan yang berkunjung ke Singapura disuguhkan dengan obyek wisata yang bervariasi, mulai dari yang berwajah kuno sampai dengan yang berpenampilan modern dan pasca modern.

Sementara dalam tulisan Kawasan Kuno Tambang Emas di Perkotaan (1997) Ir. Harry Miarsano, M.Arch., mengatakan, ada tiga keuntungan yang dapat diperoleh dalam upaya penyelamatan yaitu keuntungan budaya, ekonomi dan sosial. Keuntungan budaya diperoleh karena semakin memperkaya sumber sejarah sehingga akan menambah rasa kedekatan (sense of attachment). Keuntungan ekonomi dapat meningkatkan taraf hidup, omzet penjualan, harga sewa, pajak pendapatan dan mengurangi biaya pergantian (replacement cost). Sedangkan keuntungan sosial timbul karena meningkatnya nilai ekonomi dan menumbuhkan rasa percaya diri pada masyarakat.

Tapi barangkali dari sudut struktural, setelah benar-benar dilakukan uji laboratorium, bangunan tersebut sudah tidak kokoh sehingga bisa berbahaya jika dipergunakan. Perobohan bangunan kuno dapat dimaklumi.

Akan tetapi, alangkah baiknya dibangun kembali bangunan yang memiliki karakteristik bentuk yang sama meskipun fungsi (sebagai kantor pusat pemerintahan) berbeda. Di sini renovasi bukan berarti kehilangan esensi dengan cara robohisasi.

Di samping itu, karena gedung tersebut merupakan properti P.T. Timah Tbk., alangkah baiknya keberadaan bangunan tersebut dimusyawarahkan kembali dengan P.T. Timah Tbk., apakah P.T. Timah Tbk. akan merawat dan memperbaiki seperti aslinya sebagai aset sekaligus obyek studi dan obyek wisata sejarah-budaya, ataukah dihibahkan kepada Pemda Kabupaten Bangka Barat untuk dirawat dan dikelola sebagai kantor sekaligus obyek wisata sejarah-budaya, ataukah mungkin dikelola bersama demi identitas, landmark dan prospek pariwisata Kota Muntok yang pernah berjaya sebagai ibukota pertama di Pulau Bangka. Paling tidak, Pemda Kabupaten Bangka Barat tetap menghargai properti orang lain, pemda bisa tetap bekerja sama secara harmonis dengan P.T. Timah Tbk. demi kemajuan Kabupaten Bangka Barat di masa depan dalam bidang wisata sejarah, P.T. Timah Tbk bisa menyadari betapa berharganya bangunan tua yang mereka miliki, dan lain-lain.

Kemudian, penting sekali didiskusikan juga dengan budayawan, sejarawan, arkeolog, arsitek, pemerintah daerah beserta dinas terkait, kaum akademis, lembaga pemerhati bangunan kuno (haritage), dan komunitas-komunitas terkait lainnya guna menyatukan persepsi dan konvensi mengenai bangunan kuno bernilai sejarah dan budaya, tak terkecuali dalam upaya penataan komponen fisik kota dan pelestarian warisan sejarah-budaya. Apalagi sekarang Babel dan kabupaten-kabupaten pemekaran sedang giat membangun. Hanya saja pembangunan dilakukan alangkah baiknya tidak secara sewenang-wenang menggiatkan perobohan bangunan warisan sejarah-budaya, supaya tidak telanjur menjadi keprihatinan bersama seperti yang sempat dialami Singapura.

Terakhir, alangkah baiknya juga kita berpikir, atau katakanlah berandai-andai, bagaimana prospek bekas gedung Kawilasi Timah tersebut serta bangunan kuno lainnya, selain ‘terpaksa’ bersepakat dengan kalimat “dirobohkan saja”. Jangan sampai malah terjadi “robohnya sejarah kami” akibat kebijakan-kebijakan yang serba tergesa-gesa. Semoga tidak terjadi.

*******

*) Meniru judul roman Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis

Rumah tinggal di lahan 5 m x 15 m




Rumah Tinggal Ivone, Balikpapan





Arsitek yang Menulis *

Bagi saya, mungkin juga bagi orang lain, seorang arsitek yang menggambar (merancang) merupakan hal yang sebenarnya-lazim. Seorang arsitek memang begitu (menggambar).

Begitu pula dengan seorang arsitek yang menulis. Tidak ada yang aneh atau tidak benar-lazim ketika seorang arsitek menulis. Bagi saya, baik menggambar maupun menulis adalah biasa jika keduanya dilakukan oleh seorang arsitek.

Pada masa pendidikan di Jurusan (kini Program Studi) Arsitektur (strata 1, bukan DIII), tidak seluruh bahan kuliah (teori), diskusi kecil, ujian harian atau semesteran, bahkan Tugas Akhir melulu berupa gambar bangunan, tata bangunan atau kawasan. Paling puncak, yaitu Tugas Akhir, pun tetap harus didampingi skripsi (tertulis).

Saya belum pernah melihat sebuah buku skripsi berisi gambar saja. Perancangan yang dipaparkan dalam sidang Tugas Akhir pun tidak cukup bisa memberi pemahaman tanpa adanya uraian secara lisan (berkata-kata) oleh si calon sarjana di hadapan para dosen penguji. Dengan adanya uraian secara lisan, tentu saja, bisa diterjemahkan melalui tulisan.

Bahkan, selembar ijazah pun berisi tulisan. Bukan berisi foto si sarjana Arsitektur dengan latar gambar bangunan dari Tugas Akhirnya. Termasuk juga nilai-nilai yang diraih sebagai kelengkapan ijazah itu.

Tidak berbeda jauh ketika seseorang sudah menjadi arsitek (dari ijazah sebuah perguruan tinggi) pada saat menjalankan profesinya. Tetap saja ada uraian kalimat secara tertulis, meski sedikit, pada konsep perancangannya. Dan, tetap saja ada uraian secara lisan, yang masih bisa diterjemahkan melalui tulisan.

Dari kedua masa (pendidikan dan pekerjaan) di atas, seorang arsitek tidak terbebas dari bahasa lisan yang bisa menjadi bahasa tulisan, atau terbebas dari bahasa tulisan. Kalau kemudian seorang arsitek diminta menjadi pemateri dalam sebuah seminar atau diskusi arsitek, tidak pernah hanya memajang gambar-gambar tanpa adanya uraian lisan, yang masih bisa dituliskan oleh para pendengar.

Maksud saya, secerdas-jeniusnya seorang arsitek dalam berkarya, pemikirannya, baik gagasan (ide) maupun ulasan (tanggapan, komentar atau kritik), masih bisa diterjemahkan melalui tulisan, baik dilakukannya sendiri maupun oleh orang lain. Tentu saja “orang lain” itu bisa dari profesi yang sama, dan berbeda, semisal wartawan.   

Artinya, tidak ada yang istimewa ketika seorang arsitek menulis. Toh, seorang arsitek (jebolan akademis) sudah tamat SD, yang telah belajar tulis-menulis secara mendasar. Dan, tentunya, kemampuan menulis harus lebih tinggi, ditambah dengan latar pendidikan akhir.

Tidak juga istimewa ketika seorang arsitek menuliskan gagasan perancangan untuk suatu sayembara, atau ulasannya mengenai suatu perancangan, bangunan jadi, tata bangunan, dan seterusnya, yang berhubungan dengan bidangnya. Tentunya tulisan seorang arsitek mengenai hal-hal berkaitan dengan bidangnya dapat memberi pemahaman, baik bagi sesama arsitek maupun bukan arsitek.

Selain bahasa gambar, gagasan atau ulasan tidaklah cukup dipungkasi dengan bahasa lisan, di mana hanya orang di sekitarnya yang mendengar dan memahami. Harus dilanjutkan dengan bahasa tulisan, yang bisa menjangkau banyak orang.

Sepakat atau tidak pada tulisan saya ini, bahasa tulisan pun merupakan suatu manifestasi, bahkan pertanggungjawaban atas integritas-kualitas seorang arsitek. Kalau melalui bahasa gambar seorang arsitek bisa berkelit dengan jawaban “maksudku bukan begitu”, atau “aku nggak pernah mengatakan itu”, berbeda lagi ketika melalui sebuah tulisan.

Tulisan merupakan sebuah manifestasi atas kadar intelektual si penulis, yang dalam hal ini adalah arsitek. Keberaniannya mengungkapkan hal-hal arsitektural melalui gagasan (konsep) atau ulasan tertulis berupa esai atau opini mengenai suatu bangunan dan lain-lain, bagi saya, sudah patut diapresiasi. Artinya, si arsitek siap bertanggung jawab dengan pemikirannya secara verbal.

Tetapi, meskipun melalui bahasa tulisan bisa terbaca dan terpahami, tetap saja seorang arsitek bisa berkelit dengan jawaban “maksudku bukan begitu”. Ya, bahasa tulisan memang masih memberi tafsiran lain, seperti juga ayat-ayat suci dalam kitab suci. Nah, apalagi kalau hanya tulisan seorang arsitek, ‘kan?

Tidak perlu repot soal perkelitan atau ketidaksucian-ketidakjujuran. Cukup terfokus pada tulisan seorang arsitek mengenai gagasan atau ulasan terhadap suatu perancangan, bangunan jadi, tata bangunan, kawasan, dan hal-hal yang berkaitan dengan arsitektur.

Menurut saya, sangat penting seorang arsitek bisa menerjemahkan pemikirannya melalui tulisan. Hal ini karena, pertama, seperti pernyataan Eko Budihardjo, “… tanpa adanya tulisan yang mengungkap keberhasilan maupun kekurang-berhasilan karya arsitektur, para arsitek muda generasi mendatang tidak dapat belajar banyak dari para seniornya. Selain itu, sang perancang pun tidak memperoleh umpan balik yang dapat didayagunakan agar perancangan karya arsitektur berikutnya menjadi lebih baik.”

Kedua, di luar kalangan arsitek, yaitu masyarakat umum, bisa mendapat pengetahuan mengenai arsitektur, entah arsitektur yang bermutu maupun yang sama sekali rusak mutunya, melalui persepktif arsitek. Melalui tulisan, rekaman pemikiran bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat umum.

Ketiga, arsitektur bukanlah suatu bidang yang ekslusif, bahkan suci-sakral, sehingga tidak boleh diketahui masyarakat umum. Tanpa perlu repot berteori, toh, masyarakat umum sudah terbiasa dengan bangunan, tata bangunan, atau kawasan, yang berada di sekitarnya. Bukankah teori-toeir arsitektur pun tidak terlepas dari adat-kebiasaan-budaya masyarakat umum?  

Saya cukupkan dengan ketiga hal penting tersebut. Hal lainnya, barangkali bisa terkait, adalah minat baca masyarakat, baik masyarakat arsitek maupun masyarakat umum.

Beberapa media menuliskan bahwa minat baca bangsa Indonesia sangat rendah. Dari data UNESCO pada 2012 tersebut angka 0,001 persen orang Indonesia memiliki minat baca. Sementara data dari studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.

Barangkali data-data mengenai minat baca dapat dijadikan sebagai tantangan bagi arsitek untuk menulis. Apakah tulisan seorang arsitek bisa diminati oleh 0,001 persen itu, dan apakah bisa menarik minat di luar angka tersebut.

Itu baru mengenai minat baca (membaca). Bagaimana dengan daya baca atau kemampuan pembaca memahami bacaan?

Daya baca ini, pertama, adalah kemampuan memahami apa yang dibaca. Kalau pembacanya hanya dari kalangan arsitek, tentunya, bisa dipahami. Bagaimana dengan kalangan pembaca di luar kalangan arsitek? Apakah kalangan di luar arsitek bisa memahami tulisan seorang arsitek, apalagi kalau menggunakan kosakata-istilah arsitektur yang masih murni asing, atau dengan gaya bahasa yang tidak popular?

Kedua, adalah menerapkan pemahaman itu bagi si pembaca sendiri. Tentunya, dengan itikad baik sekaligus harapan si penulis yang arsitek, tulisannya bisa bermanfaat bagi kehidupan pembaca, ‘kan?

Ketiga, menyampaikan kembali atau menularkan pemahaman dari apa yang dibaca. Memang, satu ini tergantung pada kemampuan berkomunikasi si pembaca. Tetapi, paling tidak, dengan adanya “penularan” (impartasi) pemahaman, manfaat sebuah tulisan bisa menjangkau lebih dari satu pembaca.

Lagi, saya cukupkan soal minat dan daya baca. Tidak perlu “daya jangkau” tulisan karena bisa berkaitan dengan sosialisasi (publisitas), aturan-kebijakan, dan seterusnya. Dari minat dan daya baca masyarakat umum ini saja, saya kira, justru lebih serius daripada kemampuan tulis-menulis si arsitek.

Lebih serius? Iya. Arsitek yang menulis, paling tidak, harus memiliki “jurus” agar tulisannya tidak saja “terbaca” (tulisan sampai di mata dan otak) tetapi juga “tersuka” (sampai di hati) dan “terterapkan” (sampai di mulut, tangan, kaki, dan seterusnya). Itu yang lebih serius, ‘kan?

Oleh karenanya, ketika seorang arsitek menulis, apakah tulisannya bisa diminati bahkan didayagunakan (terealisasi), selain gambar (perancangan) yang didampingi oleh konsep yang tertulis, tentu saja, kembali kepada si arsitek itu sendiri. Sebab, pendidikan arsitektur, sebenarnya, tidaklah 100% berisi gambar perancangan dan hal-hal teknis mengenai bangunan atau kawasan, melainkan pula mengenai budaya, yang sebagian dipelajari dalam bentuk tertulis, dan ujiannya pun tertulis–bukan melulu tergambar.

*******
Panggung Renung, 4 Maret 2017


*) Tulisan ini kelanjutan dari “Arsitek Bercita-cita Penulis”.

Arsitek yang Bercita-cita Penulis

Pada 3 Maret 2017 saya mendapat kabar dari seorang rekan sejawat di Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Cabang Balikpapan, beberapa arsitek di Balikpapan bercita-cita menjadi penulis. Terus terang, saya terkejut tetapi tidak lantas menanyakan alasan dari cita-cita itu.

Betapa tidak terkejut. Sejak 2009 saya pindah ke Balikpapan sekaligus bergabung dengan mereka di bawah bendera IAI, baru 2017, atau 8 tahun kemudian, saya ketahui. Padahal seorang rekan arsitek lainnya, saya ketahui, rajin mengirimkan tulisannya mengenai arsitektur di media setempat (Kaltim), selalu dimuat, bahkan sudah mendapat halaman khusus.

Saya tidak mengetahui alasan yang pasti, mengapa sebagian rekan arsitek di Balikpapan bercita-cita menjadi penulis. Seiring dengan “mengapa” adalah “sejak kapan”.

Sementara saya sendiri, kepada rekan pemberi kabar tadi, menyampaikan bahwa saya tidak pernah bercita-cita menjadi penulis, meskipun hal semacam ini sudah sekian kali saya sampaikan. Bercita-cita menjadi arsitek pun, sebenarnya, tidak pernah terlintas di benak saya. Hanya saja, kebetulan, saya telanjur mengambil Jurusan (kini Program Studi) Arsitektur.

Beberapa Tokoh Arsitek yang Penulis

Tokoh arsitek yang sekaligus penulis, yang pertama kali saya ketahui, adalah Mangunwijaya. Bukunya yang kemudian menjadi semacam kitab suci bagi para arsitek Indonesia adalah Wastucitra. Di samping itu, tentunya, buku Fisika Bangunan, yang pernah saya miliki tetapi dipinjam tanpa pernah kembali. Selain itu, buku-buku di luar arsitektur.

Di almamater saya, UAJY, beberapa dosen juga rajin menulis, baik tulisan arsitektur maupun budaya. Yang saya ketahui, di antaranya saja, yaitu Christian Sinar Tanujaya, Prasasto Satwiko, dan Djarot Purbadi. Di luar almamater, saya pernah membaca tulisan bahkan bukunya Darwis Khudori, dan Eko Budihardjo.

Ada juga arsitek yang juga penulis lainnya, yang di kemudian tahun saya ketahui. Teguh Setiawan, Rukmi Wisnu Wardani, Indah I.P., Avianti Armand, dan entah siapa lagi. Itu pun karena tulisan-tulisan mereka yang lebih mendalam, yaitu sastra. Maaf, pengetahuan saya terbatas, dan saya bukanlah petugas sensus “arsitek yang penulis” sehingga kurang mengumpulkan nama-nama arsitek lainnya yang juga penulis.

Sebuah Tulisan yang Menggugah

Ada satu cuplikan yang cukup menggugah saya ketika membaca sebuah buku. Tulisan tersebut bikinan Eko Budihardjo. Di mana, dan apa cuplikan itu?

Pada halaman Prakata dalam buku Aristektur : Pembangunan dan Konservasi (Jakarta: Djambatan, 1997), Eko Budihardjo menulis, “Sebagian arsitek Indonesia lebih merasa asyik dengan merancang di atas meja gambar, dan tidak terlalu tertarik dengan menuangkan gagasan dalam wujud tulisan. Budaya lisan masih lebih dominan ketimbang budaya tulis. Padahal tanpa adanya tulisan yang mengungkap keberhasilan maupun kekurang-berhasilan karya arsitektur, para arsitek muda generasi mendatang tidak dapat belajar banyak dari para seniornya. Selain itu, sang perancang pun tidak memperoleh umpan balik yang dapat didayagunakan agar perancangan karya arsitektur berikutnya menjadi lebih baik.”

Di samping tergugah, tentu saja, saya sepakat. Bagaimanapun dominannya bahasa lisan, tetaplah bisa diterjemahkan dengan bahasa tulisan karena bahasa lisan menggunakan huruf, kata, frasa, kalimat, dan seterusnya. Persoalannya, bahasa lisan sangat mudah “diterkam” angin, dan sebagian saja yang “direkam” kepala, ya, kepala para pendengar pada saat bahasa lisan disampaikan. Persoalan paling darurat adalah daya ingat, analisis, dan seterusnya.

Akan tetapi, sepakat pada secuplik tulisan 20 tahun silam bukanlah berarti seketika menjadi sebab yang mutlak bagi saya untuk menulis, termasuk catatan cacat satu ini. Pasalnya, menulis bukanlah suatu kegiatan yang pernah menjadi kegemaran, apalagi jika nekat menjadi cita-cita saya. 

Kesimpulan Sesaat

Jadi, apakah seorang arsitek bercita-cita menjadi penulis merupakan suatu kabar yang mengejutkan? Tentu mengejutkan dalam lingkup pergaulan kecil di Balikpapan setelah 8 tahun saya bersama rekan-rekan arsitek setempat.

Tetapi, ya, terserah saja apa pun cita-cita rekan-rekan arsitek Balikpapan, dan bagaimana tindakan selanjutnya. Semoga tercapai cita-cita tersebut, meskipun saya tidak mengetahui kapan tercapainya karena saya menulis, termasuk catatan cacat ini, tidak lebih dari sekadar menyampaikan apa saja yang terlintas dalam benak saya, dan sebagai bukti sahih bahwa saya sudah tamat Sekolah Dasar.

*******

Panggung Renung, 03-03-2017

Peternakan di Lifulio milik Bpk. Robert Li, Kupang Barat

1. Rumah Singgah

Rumah singgah ini dimaksudkan untuk keluarga Bapak Robert apabila berkunjung ke peternakan. Bisa santai, tidur, bahkan menginap.





2. Pengembangan Kandang Babi

Peternakan babi ini cukup luas. Dan, babi yang diternakan adalah jenis babi unggul (impor) dengan ukuran badan melebihi manusia. Luar biasa! Aku baru tahu! Tapi, maaf, aku tidak makan babi karena, ya, lidahku tidak berselera meski boleh.




3. Gudang Pakan Ternak

Gudang pakan ternak ini, terutama untuk babi. Ada ruang racik, simpan pakan, ruang obat, dan ruang untuk pekerja yang berjaga di situ.


4. Rencana Peternakan Sapi

Luas lahan untuk peternakan sapi adalah 1/2 hektar. Sebagian untuk kandang, bangunan penyembelihan, klinik, bangunan penunjang, dan lahan tidak terbangun untuk memelihara rumput gajah.








Terima kasih, Elcid Li dan Bapa Robby atas kesempatan yang pernah saya nikmati. Bekerja dan bersaudara sungguhlah indah. Hanya Tuhan yang akan membalas kebaikan kita semua. Amin.

Rumah Bapak Robert Li dan rumah Bos Jamik, Perumnas Kupang, Kota Kupang, NTT




Tidak lupa dengan laporan tertulisnya sebagai bukti pekerjaan direncanakan, dilaksanakan, dan anggaran bisa terpantau dengan baik. Yang mengajakku ke Kupang adalah Dominggus Elcid Li, anak sulungnya Bapak Robert Li. Ketiga buku laporan itu kuserahkan kepadanya. Lengkap dengan nota-nota belanja karena aku bukanlah koruptor anggaran.

Bagiku, kejujuran menjadi penting. Uang sekian rupiah tidak perlu aku permainkan dalam nota. Bila aku perlu uang untuk jajan, aku tinggal minta saja pada Elcid. Aku sudah bahagia dengan nilai rupiah yang diberikan, dan Tuhan sungguh baik.





Terima kasih, Elcid dan Bapa Robby. Aku rindu datang kembali ke Kupang. Doakan aku kaya sehingga bisa datang untuk menjenguk, dan melakukan hal-hal baik selanjutnya. Tuhan memberkati. Amin.

di kantor Konsultan Arsitektur "Bima Arsihas" milik Bpk. Benny Danio dan Ibu Marry (sepupu mamaku), Kawasan Balikpapan Baru.


Meja gambar itu, rasanya, ingin kumiliki seperti dulu ketika masih berjuang di bangku kuliah Jurusan (kini: Prigram Studi) Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Meja gambarku dulu masih di indekos lama, Jl. Babarsari TB 16/1A. Kutinggalkan untuk kenang-kenangan.

Mengenang meja gambar adalah menelusuri kembali jejak garis arsitekturalku, yang masih manual dengan rapido 0,1-0,5. Semester-semester awal aku tidak pernah mendapat nilai buruk. PErnah bebas ujian alias tidak perlu ikut ujian karena nilai harian sudah bagus. Catatanku langsung diserbu kawan-kawan untuk difotokopi.

Aku juga bukanlah mahasiswa berprestasi. Kesibukanku, juga di pers kampus tingkat Fakultas, yaitu Majalah Mahasiswa Tenik "SIGMA", dan menjabat di bagian tata artistiksekaligus ilustrator (kartunis), selain sibuk menggambar bangunan. Kegetolanku mengikuti jurnalisme mahasiswa membawaku ke tingkat universitas. Di sana aku berkenalan dengan Dominggus Elcid Li, anaknya Bapak Robert Li.

Meja gambar adalah juga mediaku untuk membuat kartun-karikatur, termasukmembuat karikatur pembicara dalam Seminar Nasional "Mengintip Demokrasi lewat Lubang Humor". Di sanalah aku dikenal oleh mahasiswa Fisipol UAJY sebagai karikaturis, bukan mahasiswa Arsitektur.

Ah, meja gambar, kenangan panjang yang menggaris jejak berkaryaku!

Panggung Renung, akhir 2013 dan awal 2014

Panggung Renung adalah tempatku berkarya dan berenung. Setiap tulisanku yang bertempat "Panggung Renung" berarti tulisan kubuat di sini.


Awalnya hanya sebuah gudang keluarga di belakang rumah. Tidak terurus. Sepeninggal Papa, aku diminta Mama untuk mengelola gudang itu menjadi lebih bermanfaat, dan menarik jika dilihat tetangga di seberang atau di bawah.

Tentu saja aku harus membersihkannya sendiri. Tanaman merambat merupakan satu-satunya tanaman liar yang paling menjengkelkan. Aku suka melakukan pembersihan itu sebagai bagian berolah raga.


Setelah bersih, proses selanjutnya adalah memagarinya. Aku dibantu oleh Pak Bandi dan menantunya. Cukup dengan kayu ulin 8 cm x 8 cm, dan kawat harmonika.



Dan, barulah "Panggung Renung" dibangun oleh Pak Bandi dan menantunya.



Senangnya aku dan keluarga ketika sudah jadi. Sisa lahan belakang yang dulunya kurang terawat dan terpantau itu kini sudah menjadi bagian dalam keseharianku. Kebetulan ada anjing di rumah, dan bisa menjaga di bawahnya.

Rumah berlantai 3 di lahan 4 m x 15 m


Belum pernah dibangun. Masih dalam taraf perancangan. Hanya tabungan gagasan (ide).

Rumah Tukiman, Banjarmasin





Rumah Andi Mulato, Sungailiat, Bangka





Indekos Marco, 3 Lantai, Balikpapan


Syaiful Anwar, Mendo Barat, Bangka