Sabtu, 24 Juni 2017

Arsitek yang Menulis *

Bagi saya, mungkin juga bagi orang lain, seorang arsitek yang menggambar (merancang) merupakan hal yang sebenarnya-lazim. Seorang arsitek memang begitu (menggambar).

Begitu pula dengan seorang arsitek yang menulis. Tidak ada yang aneh atau tidak benar-lazim ketika seorang arsitek menulis. Bagi saya, baik menggambar maupun menulis adalah biasa jika keduanya dilakukan oleh seorang arsitek.

Pada masa pendidikan di Jurusan (kini Program Studi) Arsitektur (strata 1, bukan DIII), tidak seluruh bahan kuliah (teori), diskusi kecil, ujian harian atau semesteran, bahkan Tugas Akhir melulu berupa gambar bangunan, tata bangunan atau kawasan. Paling puncak, yaitu Tugas Akhir, pun tetap harus didampingi skripsi (tertulis).

Saya belum pernah melihat sebuah buku skripsi berisi gambar saja. Perancangan yang dipaparkan dalam sidang Tugas Akhir pun tidak cukup bisa memberi pemahaman tanpa adanya uraian secara lisan (berkata-kata) oleh si calon sarjana di hadapan para dosen penguji. Dengan adanya uraian secara lisan, tentu saja, bisa diterjemahkan melalui tulisan.

Bahkan, selembar ijazah pun berisi tulisan. Bukan berisi foto si sarjana Arsitektur dengan latar gambar bangunan dari Tugas Akhirnya. Termasuk juga nilai-nilai yang diraih sebagai kelengkapan ijazah itu.

Tidak berbeda jauh ketika seseorang sudah menjadi arsitek (dari ijazah sebuah perguruan tinggi) pada saat menjalankan profesinya. Tetap saja ada uraian kalimat secara tertulis, meski sedikit, pada konsep perancangannya. Dan, tetap saja ada uraian secara lisan, yang masih bisa diterjemahkan melalui tulisan.

Dari kedua masa (pendidikan dan pekerjaan) di atas, seorang arsitek tidak terbebas dari bahasa lisan yang bisa menjadi bahasa tulisan, atau terbebas dari bahasa tulisan. Kalau kemudian seorang arsitek diminta menjadi pemateri dalam sebuah seminar atau diskusi arsitek, tidak pernah hanya memajang gambar-gambar tanpa adanya uraian lisan, yang masih bisa dituliskan oleh para pendengar.

Maksud saya, secerdas-jeniusnya seorang arsitek dalam berkarya, pemikirannya, baik gagasan (ide) maupun ulasan (tanggapan, komentar atau kritik), masih bisa diterjemahkan melalui tulisan, baik dilakukannya sendiri maupun oleh orang lain. Tentu saja “orang lain” itu bisa dari profesi yang sama, dan berbeda, semisal wartawan.   

Artinya, tidak ada yang istimewa ketika seorang arsitek menulis. Toh, seorang arsitek (jebolan akademis) sudah tamat SD, yang telah belajar tulis-menulis secara mendasar. Dan, tentunya, kemampuan menulis harus lebih tinggi, ditambah dengan latar pendidikan akhir.

Tidak juga istimewa ketika seorang arsitek menuliskan gagasan perancangan untuk suatu sayembara, atau ulasannya mengenai suatu perancangan, bangunan jadi, tata bangunan, dan seterusnya, yang berhubungan dengan bidangnya. Tentunya tulisan seorang arsitek mengenai hal-hal berkaitan dengan bidangnya dapat memberi pemahaman, baik bagi sesama arsitek maupun bukan arsitek.

Selain bahasa gambar, gagasan atau ulasan tidaklah cukup dipungkasi dengan bahasa lisan, di mana hanya orang di sekitarnya yang mendengar dan memahami. Harus dilanjutkan dengan bahasa tulisan, yang bisa menjangkau banyak orang.

Sepakat atau tidak pada tulisan saya ini, bahasa tulisan pun merupakan suatu manifestasi, bahkan pertanggungjawaban atas integritas-kualitas seorang arsitek. Kalau melalui bahasa gambar seorang arsitek bisa berkelit dengan jawaban “maksudku bukan begitu”, atau “aku nggak pernah mengatakan itu”, berbeda lagi ketika melalui sebuah tulisan.

Tulisan merupakan sebuah manifestasi atas kadar intelektual si penulis, yang dalam hal ini adalah arsitek. Keberaniannya mengungkapkan hal-hal arsitektural melalui gagasan (konsep) atau ulasan tertulis berupa esai atau opini mengenai suatu bangunan dan lain-lain, bagi saya, sudah patut diapresiasi. Artinya, si arsitek siap bertanggung jawab dengan pemikirannya secara verbal.

Tetapi, meskipun melalui bahasa tulisan bisa terbaca dan terpahami, tetap saja seorang arsitek bisa berkelit dengan jawaban “maksudku bukan begitu”. Ya, bahasa tulisan memang masih memberi tafsiran lain, seperti juga ayat-ayat suci dalam kitab suci. Nah, apalagi kalau hanya tulisan seorang arsitek, ‘kan?

Tidak perlu repot soal perkelitan atau ketidaksucian-ketidakjujuran. Cukup terfokus pada tulisan seorang arsitek mengenai gagasan atau ulasan terhadap suatu perancangan, bangunan jadi, tata bangunan, kawasan, dan hal-hal yang berkaitan dengan arsitektur.

Menurut saya, sangat penting seorang arsitek bisa menerjemahkan pemikirannya melalui tulisan. Hal ini karena, pertama, seperti pernyataan Eko Budihardjo, “… tanpa adanya tulisan yang mengungkap keberhasilan maupun kekurang-berhasilan karya arsitektur, para arsitek muda generasi mendatang tidak dapat belajar banyak dari para seniornya. Selain itu, sang perancang pun tidak memperoleh umpan balik yang dapat didayagunakan agar perancangan karya arsitektur berikutnya menjadi lebih baik.”

Kedua, di luar kalangan arsitek, yaitu masyarakat umum, bisa mendapat pengetahuan mengenai arsitektur, entah arsitektur yang bermutu maupun yang sama sekali rusak mutunya, melalui persepktif arsitek. Melalui tulisan, rekaman pemikiran bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat umum.

Ketiga, arsitektur bukanlah suatu bidang yang ekslusif, bahkan suci-sakral, sehingga tidak boleh diketahui masyarakat umum. Tanpa perlu repot berteori, toh, masyarakat umum sudah terbiasa dengan bangunan, tata bangunan, atau kawasan, yang berada di sekitarnya. Bukankah teori-toeir arsitektur pun tidak terlepas dari adat-kebiasaan-budaya masyarakat umum?  

Saya cukupkan dengan ketiga hal penting tersebut. Hal lainnya, barangkali bisa terkait, adalah minat baca masyarakat, baik masyarakat arsitek maupun masyarakat umum.

Beberapa media menuliskan bahwa minat baca bangsa Indonesia sangat rendah. Dari data UNESCO pada 2012 tersebut angka 0,001 persen orang Indonesia memiliki minat baca. Sementara data dari studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.

Barangkali data-data mengenai minat baca dapat dijadikan sebagai tantangan bagi arsitek untuk menulis. Apakah tulisan seorang arsitek bisa diminati oleh 0,001 persen itu, dan apakah bisa menarik minat di luar angka tersebut.

Itu baru mengenai minat baca (membaca). Bagaimana dengan daya baca atau kemampuan pembaca memahami bacaan?

Daya baca ini, pertama, adalah kemampuan memahami apa yang dibaca. Kalau pembacanya hanya dari kalangan arsitek, tentunya, bisa dipahami. Bagaimana dengan kalangan pembaca di luar kalangan arsitek? Apakah kalangan di luar arsitek bisa memahami tulisan seorang arsitek, apalagi kalau menggunakan kosakata-istilah arsitektur yang masih murni asing, atau dengan gaya bahasa yang tidak popular?

Kedua, adalah menerapkan pemahaman itu bagi si pembaca sendiri. Tentunya, dengan itikad baik sekaligus harapan si penulis yang arsitek, tulisannya bisa bermanfaat bagi kehidupan pembaca, ‘kan?

Ketiga, menyampaikan kembali atau menularkan pemahaman dari apa yang dibaca. Memang, satu ini tergantung pada kemampuan berkomunikasi si pembaca. Tetapi, paling tidak, dengan adanya “penularan” (impartasi) pemahaman, manfaat sebuah tulisan bisa menjangkau lebih dari satu pembaca.

Lagi, saya cukupkan soal minat dan daya baca. Tidak perlu “daya jangkau” tulisan karena bisa berkaitan dengan sosialisasi (publisitas), aturan-kebijakan, dan seterusnya. Dari minat dan daya baca masyarakat umum ini saja, saya kira, justru lebih serius daripada kemampuan tulis-menulis si arsitek.

Lebih serius? Iya. Arsitek yang menulis, paling tidak, harus memiliki “jurus” agar tulisannya tidak saja “terbaca” (tulisan sampai di mata dan otak) tetapi juga “tersuka” (sampai di hati) dan “terterapkan” (sampai di mulut, tangan, kaki, dan seterusnya). Itu yang lebih serius, ‘kan?

Oleh karenanya, ketika seorang arsitek menulis, apakah tulisannya bisa diminati bahkan didayagunakan (terealisasi), selain gambar (perancangan) yang didampingi oleh konsep yang tertulis, tentu saja, kembali kepada si arsitek itu sendiri. Sebab, pendidikan arsitektur, sebenarnya, tidaklah 100% berisi gambar perancangan dan hal-hal teknis mengenai bangunan atau kawasan, melainkan pula mengenai budaya, yang sebagian dipelajari dalam bentuk tertulis, dan ujiannya pun tertulis–bukan melulu tergambar.

*******
Panggung Renung, 4 Maret 2017


*) Tulisan ini kelanjutan dari “Arsitek Bercita-cita Penulis”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar