Bagi saya, mungkin juga bagi orang lain,
seorang arsitek yang menggambar (merancang) merupakan hal yang
sebenarnya-lazim. Seorang arsitek memang begitu (menggambar).
Begitu pula dengan seorang arsitek yang
menulis. Tidak ada yang aneh atau tidak benar-lazim ketika seorang arsitek
menulis. Bagi saya, baik menggambar maupun menulis adalah biasa jika keduanya
dilakukan oleh seorang arsitek.
Pada masa pendidikan di Jurusan (kini
Program Studi) Arsitektur (strata 1, bukan DIII), tidak seluruh bahan kuliah
(teori), diskusi
kecil, ujian harian atau semesteran, bahkan Tugas Akhir melulu berupa gambar
bangunan, tata bangunan atau kawasan. Paling puncak, yaitu Tugas Akhir, pun tetap
harus didampingi skripsi
(tertulis).
Saya belum pernah melihat sebuah buku
skripsi berisi gambar saja. Perancangan yang dipaparkan dalam sidang Tugas
Akhir pun tidak cukup bisa memberi pemahaman tanpa adanya uraian secara lisan
(berkata-kata) oleh si calon sarjana di hadapan para dosen penguji. Dengan
adanya uraian secara lisan, tentu saja, bisa diterjemahkan melalui tulisan.
Bahkan, selembar ijazah pun berisi tulisan.
Bukan berisi foto si sarjana Arsitektur dengan latar gambar bangunan dari Tugas
Akhirnya. Termasuk juga nilai-nilai yang diraih sebagai kelengkapan ijazah itu.
Tidak berbeda jauh ketika seseorang sudah
menjadi arsitek (dari ijazah sebuah perguruan tinggi) pada saat menjalankan
profesinya. Tetap saja ada uraian kalimat secara tertulis, meski sedikit, pada konsep
perancangannya. Dan, tetap saja ada uraian secara lisan, yang masih bisa
diterjemahkan melalui tulisan.
Dari kedua masa (pendidikan dan pekerjaan)
di atas, seorang arsitek tidak terbebas dari bahasa lisan yang bisa menjadi
bahasa tulisan, atau terbebas dari bahasa tulisan. Kalau kemudian seorang
arsitek diminta menjadi pemateri dalam sebuah seminar atau diskusi arsitek,
tidak pernah hanya memajang gambar-gambar tanpa adanya uraian lisan, yang masih
bisa dituliskan oleh para pendengar.
Maksud saya, secerdas-jeniusnya seorang
arsitek dalam berkarya, pemikirannya, baik gagasan (ide) maupun ulasan
(tanggapan, komentar atau kritik), masih bisa diterjemahkan melalui tulisan,
baik dilakukannya sendiri maupun oleh orang lain. Tentu saja “orang lain” itu
bisa dari profesi yang sama, dan berbeda, semisal wartawan.
Artinya, tidak ada yang istimewa ketika
seorang arsitek menulis. Toh, seorang arsitek (jebolan akademis) sudah tamat
SD, yang telah belajar tulis-menulis secara mendasar. Dan, tentunya, kemampuan
menulis harus lebih tinggi, ditambah dengan latar pendidikan akhir.
Tidak juga istimewa ketika seorang arsitek
menuliskan gagasan perancangan untuk suatu sayembara, atau ulasannya mengenai
suatu perancangan, bangunan jadi, tata bangunan, dan seterusnya, yang berhubungan dengan bidangnya. Tentunya
tulisan seorang arsitek mengenai hal-hal berkaitan dengan bidangnya dapat
memberi pemahaman, baik bagi sesama arsitek maupun bukan arsitek.
Selain bahasa gambar, gagasan atau ulasan
tidaklah cukup dipungkasi dengan bahasa lisan, di mana hanya orang di
sekitarnya yang mendengar dan memahami. Harus dilanjutkan dengan bahasa
tulisan, yang bisa menjangkau banyak orang.
Sepakat atau tidak pada tulisan saya ini,
bahasa tulisan pun merupakan suatu manifestasi, bahkan pertanggungjawaban atas
integritas-kualitas seorang arsitek. Kalau melalui bahasa gambar seorang
arsitek bisa berkelit dengan jawaban “maksudku bukan begitu”, atau “aku nggak pernah
mengatakan itu”, berbeda lagi ketika melalui sebuah tulisan.
Tulisan merupakan sebuah manifestasi atas
kadar intelektual si penulis, yang dalam hal ini adalah arsitek. Keberaniannya
mengungkapkan hal-hal arsitektural melalui gagasan (konsep) atau ulasan
tertulis berupa esai atau opini mengenai suatu bangunan dan lain-lain, bagi
saya, sudah patut diapresiasi. Artinya, si arsitek siap bertanggung jawab
dengan pemikirannya secara verbal.
Tetapi, meskipun melalui bahasa tulisan bisa terbaca
dan terpahami, tetap saja seorang arsitek bisa berkelit dengan jawaban “maksudku bukan begitu”.
Ya, bahasa tulisan memang masih memberi tafsiran lain, seperti juga ayat-ayat
suci dalam kitab suci. Nah, apalagi kalau hanya tulisan seorang arsitek, ‘kan?
Tidak perlu repot soal perkelitan atau
ketidaksucian-ketidakjujuran. Cukup terfokus pada tulisan seorang arsitek
mengenai gagasan atau ulasan terhadap suatu perancangan, bangunan jadi, tata bangunan, kawasan, dan hal-hal yang
berkaitan dengan arsitektur.
Menurut saya, sangat penting seorang
arsitek bisa menerjemahkan pemikirannya melalui tulisan. Hal ini karena, pertama, seperti pernyataan Eko
Budihardjo, “… tanpa adanya tulisan yang
mengungkap keberhasilan maupun kekurang-berhasilan karya arsitektur, para
arsitek muda generasi mendatang tidak dapat belajar banyak dari para seniornya.
Selain itu, sang perancang pun tidak memperoleh umpan balik yang dapat
didayagunakan agar perancangan karya arsitektur berikutnya menjadi lebih baik.”
Kedua, di luar kalangan arsitek, yaitu masyarakat umum, bisa mendapat
pengetahuan mengenai arsitektur, entah arsitektur yang bermutu maupun yang sama
sekali rusak mutunya, melalui persepktif arsitek. Melalui tulisan, rekaman
pemikiran bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat umum.
Ketiga, arsitektur bukanlah suatu bidang yang ekslusif, bahkan suci-sakral,
sehingga tidak boleh diketahui masyarakat umum. Tanpa perlu repot berteori,
toh, masyarakat umum sudah terbiasa dengan bangunan, tata bangunan, atau
kawasan, yang berada di sekitarnya. Bukankah teori-toeir arsitektur pun tidak
terlepas dari adat-kebiasaan-budaya masyarakat umum?
Saya cukupkan dengan ketiga hal penting
tersebut. Hal lainnya, barangkali bisa terkait, adalah minat baca masyarakat,
baik masyarakat arsitek maupun masyarakat umum.
Beberapa media menuliskan bahwa minat baca
bangsa Indonesia sangat rendah. Dari data UNESCO pada 2012 tersebut angka 0,001
persen orang Indonesia memiliki minat baca. Sementara data dari studi
"Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central
Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan
menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.
Barangkali data-data mengenai minat baca
dapat dijadikan sebagai tantangan bagi arsitek untuk menulis. Apakah tulisan seorang arsitek bisa diminati
oleh 0,001 persen itu, dan apakah bisa menarik minat di luar angka tersebut.
Itu baru mengenai
minat baca (membaca). Bagaimana dengan daya baca atau kemampuan pembaca
memahami bacaan?
Daya baca ini, pertama, adalah kemampuan memahami apa
yang dibaca. Kalau pembacanya hanya dari kalangan arsitek, tentunya, bisa
dipahami. Bagaimana dengan kalangan pembaca di luar kalangan arsitek? Apakah
kalangan di luar arsitek bisa memahami tulisan seorang arsitek, apalagi kalau
menggunakan kosakata-istilah arsitektur yang masih murni asing, atau dengan
gaya bahasa yang tidak popular?
Kedua, adalah menerapkan pemahaman itu bagi si pembaca sendiri. Tentunya,
dengan itikad baik sekaligus harapan si penulis yang arsitek, tulisannya bisa
bermanfaat bagi kehidupan pembaca, ‘kan?
Ketiga, menyampaikan kembali atau menularkan pemahaman dari apa yang dibaca. Memang,
satu ini tergantung pada kemampuan berkomunikasi si pembaca. Tetapi, paling
tidak, dengan adanya “penularan” (impartasi) pemahaman, manfaat sebuah tulisan
bisa menjangkau lebih dari satu pembaca.
Lagi, saya cukupkan
soal minat dan daya baca. Tidak perlu “daya jangkau” tulisan karena bisa
berkaitan dengan sosialisasi (publisitas), aturan-kebijakan, dan seterusnya. Dari
minat dan daya baca masyarakat umum ini saja, saya kira, justru lebih serius
daripada kemampuan tulis-menulis si arsitek.
Lebih serius? Iya.
Arsitek yang menulis, paling tidak, harus memiliki “jurus” agar tulisannya
tidak saja “terbaca” (tulisan sampai di mata dan otak) tetapi juga “tersuka”
(sampai di hati) dan “terterapkan” (sampai di mulut, tangan, kaki, dan
seterusnya). Itu yang lebih serius, ‘kan?
Oleh karenanya,
ketika seorang arsitek menulis, apakah tulisannya bisa diminati bahkan
didayagunakan (terealisasi), selain gambar (perancangan) yang didampingi oleh
konsep yang tertulis, tentu saja, kembali kepada si arsitek itu sendiri. Sebab,
pendidikan arsitektur, sebenarnya, tidaklah 100% berisi gambar perancangan dan
hal-hal teknis mengenai bangunan atau kawasan, melainkan pula mengenai budaya,
yang sebagian dipelajari dalam bentuk tertulis, dan ujiannya pun tertulis–bukan
melulu tergambar.
*******
Panggung Renung, 4 Maret 2017
*) Tulisan ini
kelanjutan dari “Arsitek Bercita-cita Penulis”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar