Pada 3 Maret 2017
saya mendapat kabar dari seorang rekan sejawat di Ikatan Arsitek Indonesia
(IAI) Cabang Balikpapan, beberapa arsitek di Balikpapan bercita-cita menjadi
penulis. Terus terang, saya terkejut tetapi tidak lantas menanyakan alasan dari
cita-cita itu.
Betapa tidak
terkejut. Sejak 2009 saya pindah ke Balikpapan sekaligus bergabung dengan
mereka di bawah bendera IAI, baru 2017, atau 8 tahun kemudian, saya ketahui. Padahal
seorang rekan arsitek lainnya, saya ketahui, rajin mengirimkan tulisannya mengenai
arsitektur di media setempat (Kaltim), selalu dimuat, bahkan sudah mendapat
halaman khusus.
Saya tidak
mengetahui alasan yang pasti, mengapa sebagian rekan arsitek di Balikpapan
bercita-cita menjadi penulis. Seiring dengan “mengapa” adalah “sejak kapan”.
Sementara saya
sendiri, kepada rekan pemberi kabar tadi, menyampaikan bahwa saya tidak pernah
bercita-cita menjadi penulis, meskipun hal semacam ini sudah sekian kali saya
sampaikan. Bercita-cita menjadi arsitek pun, sebenarnya, tidak pernah terlintas
di benak saya. Hanya saja, kebetulan, saya telanjur mengambil Jurusan (kini
Program Studi) Arsitektur.
Beberapa Tokoh Arsitek yang Penulis
Tokoh arsitek yang
sekaligus penulis, yang pertama kali saya ketahui, adalah Mangunwijaya. Bukunya
yang kemudian menjadi semacam kitab suci bagi para arsitek Indonesia adalah Wastucitra. Di samping itu, tentunya, buku Fisika Bangunan, yang pernah
saya miliki tetapi dipinjam tanpa pernah kembali. Selain itu, buku-buku di luar
arsitektur.
Di almamater saya,
UAJY, beberapa dosen juga rajin menulis, baik tulisan arsitektur maupun budaya.
Yang saya ketahui, di antaranya saja, yaitu Christian Sinar Tanujaya, Prasasto
Satwiko, dan Djarot Purbadi. Di luar almamater, saya pernah membaca tulisan
bahkan bukunya Darwis Khudori, dan Eko Budihardjo.
Ada juga arsitek
yang juga penulis lainnya, yang di kemudian tahun saya ketahui. Teguh Setiawan,
Rukmi Wisnu Wardani, Indah I.P., Avianti Armand, dan entah siapa lagi. Itu pun
karena tulisan-tulisan mereka yang lebih mendalam, yaitu sastra. Maaf,
pengetahuan saya terbatas, dan saya bukanlah petugas sensus “arsitek yang
penulis” sehingga kurang mengumpulkan nama-nama arsitek lainnya yang juga
penulis.
Sebuah Tulisan yang Menggugah
Ada satu cuplikan yang
cukup menggugah saya ketika membaca sebuah buku. Tulisan tersebut bikinan Eko
Budihardjo. Di mana, dan apa cuplikan itu?
Pada halaman Prakata dalam buku Aristektur : Pembangunan dan Konservasi (Jakarta: Djambatan, 1997),
Eko Budihardjo menulis, “Sebagian arsitek
Indonesia lebih merasa asyik dengan merancang di atas meja gambar, dan tidak
terlalu tertarik dengan menuangkan gagasan dalam wujud tulisan. Budaya lisan
masih lebih dominan ketimbang budaya tulis. Padahal tanpa adanya tulisan yang mengungkap
keberhasilan maupun kekurang-berhasilan karya arsitektur, para arsitek muda
generasi mendatang tidak dapat belajar banyak dari para seniornya. Selain itu,
sang perancang pun tidak memperoleh umpan balik yang dapat didayagunakan agar
perancangan karya arsitektur berikutnya menjadi lebih baik.”
Di samping
tergugah, tentu saja, saya sepakat. Bagaimanapun dominannya bahasa lisan,
tetaplah bisa diterjemahkan dengan bahasa tulisan karena bahasa lisan
menggunakan huruf, kata, frasa, kalimat, dan seterusnya. Persoalannya, bahasa
lisan sangat mudah “diterkam” angin, dan sebagian saja yang “direkam” kepala,
ya, kepala para pendengar pada saat bahasa lisan disampaikan. Persoalan paling
darurat adalah daya ingat, analisis, dan seterusnya.
Akan tetapi, sepakat
pada secuplik tulisan 20 tahun silam bukanlah berarti seketika menjadi sebab
yang mutlak bagi saya untuk menulis, termasuk catatan cacat satu ini. Pasalnya,
menulis bukanlah suatu kegiatan yang pernah menjadi kegemaran, apalagi jika
nekat menjadi cita-cita saya.
Kesimpulan Sesaat
Jadi, apakah
seorang arsitek bercita-cita menjadi penulis merupakan suatu kabar yang
mengejutkan? Tentu mengejutkan dalam lingkup pergaulan kecil di Balikpapan
setelah 8 tahun saya bersama rekan-rekan arsitek setempat.
Tetapi, ya, terserah
saja apa pun cita-cita rekan-rekan arsitek Balikpapan, dan bagaimana tindakan
selanjutnya. Semoga tercapai cita-cita tersebut, meskipun saya tidak mengetahui
kapan tercapainya karena saya menulis, termasuk catatan cacat ini, tidak lebih
dari sekadar menyampaikan apa saja yang terlintas dalam benak saya, dan sebagai
bukti sahih bahwa saya sudah tamat Sekolah Dasar.
*******
Panggung Renung, 03-03-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar